” Kerisauan dari Dewan Pers terkait masuknya konglomerat media seperti Pak Hary Tanoe ke parpol sangat beralasan. Kalau ada konglomerat berpihak, saya rasa kurang bagus di dunia penyiaran kita,”
Max Sopacua
Wakil Ketua Umum Partai Demokrat
JAKARTA (riaupeople) – Masuknya bos MNC Group, Hary Tanoe di jajaran kepengurusan Partai Nasional Demokrat membuat sejumlah politisi ketar-ketir. Beragam pendapat bermunculan menyikapi kolaborasi yang dibangun dua raksasa media nasional, Hary Tanoe dan pemilik Media Grup Surya Paloh itu. Kendati ada yang menganggap itu bukan sebuah ancaman, namun juga tidak sedikit mengingatkan agar “duo raksasa” itu tidak memanfaatkan medianya untuk kepentingan politik mereka.
Pagi-pagi, Partai Demokrat sudah memperingatkan para bos media yang masuk parpol agar berpolitik secara sehat. Salah satunya dengan tidak memanfaatkan media milik mereka untuk memperkuat jejaring politiknya. ” Kerisauan dari Dewan Pers terkait masuknya konglomerat media seperti Pak Hary Tanoe ke parpol sangat beralasan. Kalau ada konglomerat berpihak, saya rasa kurang bagus di dunia penyiaran kita,” keluh Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, Max Sopacua, kepada wartawan, Rabu (9/11/2011).
Max Sopacua sebagaimana diberitakan detik.com menyebutkan bos media harus memisahkan kepentingan politik dan medianya. Dengan begitu media tetap independen dalam memberikan suguhan pesta politik ke depan kepada rakyat Indonesia. ” Sekarang ini tergantung Pak Hary Tanoe dan Pak Surya Paloh ini mau dibawa kemana opini publik kita. Selama itu masih positif no problem. Namun kalau menjurus pembantaian parpol atau orang lain, saya pikir itu mendapat perhatian pemerintah, biarpun kita masuk dalam koridor bebas,” tuturnya.
Max Sopacua juga mendorong Komisi I DPR agar juga membahas masalah tersebut. Pasalnya, parpol baru seperti Nasdem saja di-backup dua bos media. ” DPR harus konsisten bahwa UU tentang kepemilikan media massa dibatasi. Apalagi kalau dia bergabung dengan parpol. Media jangan menjadi alat politik. Jangan sampai opini publik terpancing dengan media yang diarahkan untuk kepentingan sesaat,” tandasnya
Berbeda dengan Demokrat, Partai Golkar malah menanggapi santai kolaborasi Hary Tanoe dan Surya Paloh itu. Malah Golkar mengaku tak takut menghadapi Partai NasDem yang kini juga dibekingi bos MNC group Hary Tanoesoedibjo. Bagi Golkar yang juga memiliki sejumlah media besar, kekuatan media bukanlah segala-galanya. ” Golkar tidak pernah takut atau merasa terancam dengan lahirnya partai NasDem. Malah bagus untuk menguji keberadaan partai di tengah masyarakat. Kekuatan media bukan segala-galanya,” tutur Jubir Golkar, Nurul Arifin, kepada wartawan, Rabu (9/11/2011).
Golkar juga tidak mempermasalahkan Nasdem yang menggunakan sayap medianya untuk mendongkrak popularitasnya. Tetapi itu dilakukan sepanjang dengan cara yang fair. ” Tidak ada yang bisa melarang penggunaan media dan jenis-jenis promosi lain. Tapi gunakan itu semua dengan fair,” imbaunya
Terkait banyaknya bos media yang menjadi petinggi partai politik, Dewan pers pun mengimbau agar media tidak menjadi corong politik pemiliknya. ” Media yang dimiliki orang politik, memiliki beban lebih berat untuk membuktikan media itu independen. Kini jelas sekali beberapa pemilik media aktif dalam Parpol bahkan memimpin Parpol. Agar media-media ini tidak menjadi corong pemiliknya,” ujar Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Dewan Pers, Agus Sudibyo, Rabu (9/11/2011).
Agus menjelaskan bisnis media tergantung pada kepercayaan publik. Jangan sampai suatu media ditinggalkan pemirsanya karena dinilai tidak independen dan memihak parpol atau capres tertentu. Sanksi kehilangan kepercayaan dari masyarakat sangat berat bagi sebuah media. Hal ini dinilai lebih berat daripada sanksi dari dewan pers, KPI atau lembaga formal lainnya. ” Kita hanya mengimbau untuk memikirkan investasi jangka panjang. Masyarakat itu sensitif terhadap kebijakan politik dalam media,” jelas Agus.
Dewan Pers bersama KPI, serta lembaga pengawas yang lain pun akan terus mengawasi berita-berita politik di media. Selain itu, kontrol terhadap suatu media bisa juga dilakukan media lain. Jika menayangkan suatu tokoh yang tidak ada news value-nya secara terus menerus, jika media itu media profesional, maka seharusnya merasa malu. ” Jadi yang mengawasi bukan hanya publik, tetapi media lain,” tutup Agus.(fai)