JAKARTA (riaupeople) – Ketua Umum Ormas Nasional Demokrat, Surya Paloh mengatakan, bahwa Partai Golkar tidak membutuhkan dirinya lagi. Sehingga secara resmi ia memutuskan untuk mengundurkan diri dari partai berlambang pohon beringin itu.
“Saya sudah antiklimak di Golkar. Dan saya yakin bahwa Golkar tidak memerlukan orang-orang seperti saya ini lagi. Dan saya juga tidak memerlukan Golkar lagi,” ujar Surya Paloh kemarin di Kantor Ormas Nasional Demokrat sebagaimana dilansir matanews.com.
Namun, Paloh mengatakan bahwa hal itu bukanlah akhir dari karir politiknya dan dirinya meyakini peran politiknya tidak akan berakhir seiring keputusannya keluar dari Golkar. “Saya lihat wajah saya di kaca tadi tidak tua-tua amat, jadi sayang amat kalau saya antiklimaks dengan semuanya,” ujarnya.
Kendati demikian, mantan Ketua Dewan Penasehat Partai Golkar tersebut menolak jika momentum pemilihan presiden 2014 menjadi alasan dirinya mengambil keputusan politiknya tersebut. “Saya sejujurnya tidak terpikirkan untuk menjadi capres, masih terlalu panjang untuk 2014 itu. Pepatah Inggris menyatakan air di gelas ketika dibibir saja banyak sekali hal yang akan terjadi apalagi tiga tahun mendatang,” katanya seraya mengatakan dirinya akan fokus pada kerja-kerja sosial di dalam ormas yang ia dirikan.
Keluarnya Surya Paloh dari Partai Golkar dengan jabatan terakhir sebagai Ketua Dewan Penasehat Partai Golkar melalui proses perenungan yang cukup lama. “Ini saya lakukan setelah melalui perenungan yang cukup panjang, saya berpikir apa yang bisa saya berikan, yang terbaik buat diri saya, Golkar dan masyarakat. Ini bukan keputusan yang mudah,” ucapnya.
Pasalnya, dirinya berkiprah di Partai Golkar selama 43 tahun, mulai masih menjadi anggota biasa, kemudian memimpin organisasi kepemudaan dan terakhir jabatannya adalah Ketua Dewan Penasehat Golkar. Namun, lanjut dia, ide-ide perubahan yang diusungnya tidak mendapatkan ruang di Partai Golkar. Bahkan, ormas Nasional Demokrat dinilai menjadi ancaman bagi partai bergambar pohon beringin itu.
“Padahal, ormas Nasional Demokrat tidak dimaksudkan bermetaformosis menjadi parpol,” tuturnya.
Menurut dia, Golkar dianggap sudah tidak lagi mampu mengefisiensikan pemikiran yang progresif dan memiliki nilai moralitas, sehingga ditinggalkan oleh pemilihnya. Hal itu, terlihat dalam Pemilu pada tahun 1999, dimana Golkar hanya memperoleh suara sebanyak 24 persen, kemudian Tahun 2004 Golkar juga tidak mampu mempertahankan suaranya, sehingga turun menjadi 20 persen.
“Pada Pemilu 2009, suara Golkar kembali turun menjadi 14 persen. Ini menjadi tren penurunan. Tentu ini menjadi perenungan, ada apa ini? Apa yang salah?” kata Suraya Paloh. (