(Pojok Redaksi Harian Riau Pesisir)
SYUKUR Alhamdulillah. Pujian itu rasanya pantas diucapkan warga Pekanbaru dan Riau. Betapa tidak, setelah sekian lama malang-melintang tanpa ada yang mengusik sama sekali, Kamis dinihari kemarin aparat dari Mabes Polri menggerebek dua tempat perjudian di Pekanbaru.
Gebrakan yang dilakukan aparat kepolisian pusat tersebut memang pantas mendapat acungan jempol. Maklum, selama ini kedua arena maksiat tersebut nyaris tak tersentuh hukum. Meskipun hukum formal sudah mengatur tentang larangan melakukan perjudlan maupun maksiat lainnya,
namun aparat kepolisian di tingkat Polda maupun Polresta, seperti tak berdaya menerapkan hukum tersebut.
Padahal, berbeda dengan daerah lain, kecuali mungkin Aceh, Provinsi Riau jelas menyatakan sebagai kawasan Melayu yang berdasarkan Islam, Dalam agama Islam sendiri jelas ditegaskan bahwa judi dan maksiat itu dilarang. Jangankan melakukannya, untuk mendekatinya pun tak boleh.
Namun, karena pengaruh uang yang cukup besar dari bandar maksiat tersebut, praktek judi dan bentuk maksiat lainnya pun akhirnya menjadi pemandangan sehari-hari. Bayangkan saja, kedua tempat maksiat yang digrebek tersebut berada persis di jantung kota, yang berhampiran
dengan rumah penduduk dan tempat ibadah.
Protes demi protes sudah kerap disampaikan warga. Bahkan organisasi yang menamakan diri Front Pembela Islam (FPI) sempat melakukan aksi, namun gaungnya seperti hilang ditelan oleh melimpahnya duit cukong lendir tersebut. Anehnya, baik walikota maupun gubernur yang menjadi pemimpin di Negeri Lancangkuning ini juga nyaris tak bersuara. Entah menentang atau menyetujui, hanya merekalah yang tahu.
Sebenarnya, kalau ditarik ke belakang, terjadinya penyergapan yang dilakukan aparat dari Mabes Polri ini kelihatan berkaitan dengan ditahannya Herianto oleh kepolisian setempat sejak beberapa pecan lalu. Heri yang belum lama ini menjabat sebagai Ketua Wartawan Unit Polda Riau, bias juga masuk tahanan polisi karena dituduh memeras seorang cukong bernama Dedi Handoko.
Semula banyak yang tak yakin dengan penangkapan itu, karena selama ini Heri dikenal dekat dengan aparat kepolisian maupun cukong tersebut. Namun, ternyata, seperti di politik, di sini pun tak ada yang namanya kawan sejati. Buktinya, Heri yang setiap hari malang-melintang di jajaran kepolisian, akhirnya harus terperosok juga ke tahanan polisi.
Sayangnya, para aparat polisi di daerah tak menyadari bahwa Heri yang sudah puluhan tahun bergaul dengan polisi, kini sebagian temannya itu telah memiliki pangkat tinggi dan posisi penting di Mabes Polri.
Inilah yang kemudian membuat skor menjadi 1-1. Tinggal lagi menunggu bagaimana akhir dari permainan ini. Apakah Heri bersedia jadi martir untuk menghapuskan segala bentuk maksiat di kawasan Melayu yang berdasarkan Islam ini? (*)