*Terkait Pemeriksaan Kembali oleh KPK
*Sertifikat Bukan Legitimasi Kejahatan Hutan
PEKANBARU – Proses sertifikat Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SLVK) perlu ditinjau ulang karena kerap dijadikan tameng dalam aktifitas pengrusakan hutan. Apalagi produk untuk memenuhi legalitas kayu yang dibuat berdasarkan kesepakatan para pengambil kebijakan di bidang kehutanan tersebut tidak mampu menekan tingginya angka penjarahan hutan.
Parahnya lagi, tren sertifikasi produksi dan pemasaran Pulp dan Kertas “bertopeng” Sertifikat Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PK-PHPL) kian menjadi legalitas perusahaan HTI untuk merusak hutan. “ SVLK tidak menjadi legitimasi perusahaan atas kejahatan yang telah mereka perbuat. Kita lihat apa yang terjadi di Riau, dengan adanya dugaan suap dalam proses perizinan di sektor kehutanan adalah bukti bahwa diperolehnya sertifikat SVLK beberapa perusahaan HTI di Riau cacat secara penilaian. Sudah seharusnya kasus ini menjadi contoh untuk perbaikan SVLK terkait aspek perizinan agar SVLK menjadi kredibel,” ujar Focal Point Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) Riau, Zainuri Hasyim di Pekanbaru pekan kemarin.
Dalih sudah mengantongi SVLK ini jugalah yang diungkapkan Humas PT RAPP, Salomo Sihotang saat dikonfirmasi Pesisir News Network terkait adanya indikasi penggunaan kayu ilegal oleh perusahaan bubur kertas itu untuk memenuhi kebutuhan bahan baku kayunya. “ Sebagai perusahaan yang mengantongi sertifikat Sistem Verifikasi Legalitas Kayu, semua bahan baku yang dipergunakan RAPP dalam proses produksi sudah memiliki dokumen dan legalitas sesuai aturan yang berlaku,” ungkap Salomo melalui pesan singkat yang dikirimkannya, Jum’at (1/3/13) lalu.
Menurut Zainuri Hasyim, kembali diperiksanya 14 perusahaan terkait dengan kasus korupsi kehutanan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan tersangka Gubernur Riau Rusli Zainal merupakan indikasi adanya ketidakberesan dalam tata kelola kehutanan di Riau. Padahal, dari 14 perusahaan tersebut, ada tiga perusahaan yang mendapatkan sertifikat dalam Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PK-PHPL) dan tujuh perusahaan yang memperoleh sertifikat Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK).
Berdasarkan data JPIK, ke-14 perusahaan yang kembali diperiksa itu 8 diantaranya merupakan bagian dari APRIL Group. Masing-masingnya, PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), PT Merbau Pelalawan Lestari, PT Mitra Kembang Selaras, PT Citra Sumber Sejahtera, PT Bukit Betabuh Sei Indah, PT Anugerah Bumi Sejahtera, PT Madukuro dan PT Nusa Prima Manunggal.
Sedangkan 6 perusahaan lainnya berasal dari APP Group, yakni PT Suntara Gaja Pati, PT Rimba Mandau Lestari, PT Arara Abadi, PT Wana Rokan Bonai Perkasa, PT Bina Duta Laksana dan PT Inhil Hutan Pratama. ” Ada indikasi 14 perusahaan itu terlibat dalam kasus korupsi kehutanan dengan tersangka Gubernur Riau Rusli Zainal. Oleh karena itu, kami meragukan proses sertifikasi SVLK mereka. Perusahaan yang diduga terlibat dalam kasus korupsi kehutanan dengan tersangka Gubernur Riau, SLVK mereka perlu ditinjau ulang, dibekukan dulu, dan kalau bermasalah harus dicabut,” tegas Zainuri.
Zainuri Hasyim menyatakan, sejak 2010, JPIK Riau telah melakukan pemantauan terhadap perusahaan yang akan melaksanakan penilaian terhadap SVLK, di antaranya adalah perusahaan PT Arara Abadi. Dalam proses pemantauan, pihaknya kesulitan memperoleh data dan informasi atas proses sertifikasi dan hasil atas sertifikasi tersebut.
Seperti dilansir situs antarariau, SVLK adalah persyaratan untuk memenuhi legalitas kayu atau produk yang dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak (stakeholder) kehutanan yang memuat standar, kriteria, indikator, verifier, metode verifikasi, dan norma penilaian. SVLK mengacu pada Permenhut No P.38/Menhut-II/2009 yang diperbaharui dan ditetapkan melalui peraturan terbaru, yaitu P.45/Menhut-II/2012.
Selain itu, Sertifikasi SVLK atau Sistem Verifikasi Legalitas Kayu tersebut juga dianggap sebagai sebuah kunci untuk memasuki pasar Eropa di masa mendatang, karena dinilai setara dengan standar Voluntary Partnership Agreement (VPA) dibawah Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT) Action Plan yang dianut oleh Uni Eropa.(isa)