PEKANBARU (riaupeople) – Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof Erman Rajagukguk menegaskan bahwa kredit macet merupakan resiko bisnis dan bukan tindak korupsi. “ Jika kredit itu macet, itu resiko bisnis dan bukan korupsi,” tegasnya saat dihadirkan sebagai saksi ahli dalam sidang lanjutan kasus kredit macet di Bank Riau Kepri dengan terdakwa mantan Dirut Bank Riau Kepri H Zulkifli Thalib, Senin (25/2/13).
Erman Rajagukguk dalam kesaksiannya mengatakan keuangan perusahaan milik pemerintah daerah bukan keuangan negara. Dasarnya adalah bank milik pemerintah daerah berbentuk Perseroan Terbatas berbadan hukum sesuai undang-undang No.40 tahun 2007. Suatu badan hukum sebagai subjek hukum mempunyai harta kekayaan sendiri, terpisah dari harta kekayaan pemegang saham, komisaris, maupun direksi. Selanjutnya, mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi No.77/PUU-IX/2011 ditegaskan bahwa piutang Bank BUMN setelah berlakunya UU No.1 Tahun 2004 tentang perbendaharaan negara, UU No.19 Tahun 2003 tentang BUMN dan undang-undang No.40 tahun 2007 tentang perseroan terbatas bukan lagi piutang negara. ” Bila mana suatu bank milik Pemda yang berbentuk PT memiliki kredit macet, maka bank tidak dapat dikatakan telah merugikan negara. Apalagi kerugian satu bank dihitung dalam satu tahun buku, bukan dari satu kredit macet, satu triwulan kredit macet, atau satu semester kredit macet. Kecuali direksi menerima suap, jika tidak terbukti maka tidak. Kredit macet itu resiko bisnis,” papar Erman Rajaguguk.
Sehingga, lanjut Erman, kalaupun pemegang saham merasa rugi atas satu kredit, maka pemegang saham bisa menuntut perdata para pengurus bank. Ini sesuai dengan undang-undang Perseroan Terbatas. ” Bila direksi mengambil kebijakan take over untuk penyelamatan bank, pendapat saya ini tidak melanggar undang-undang PT maupun undang-undang perbankan. Jika kredit itu macet, itu resiko bisnis bukan korupsi ” jelas Erman.
Dijelaskannya lagi, jika kebijakan itu diambil secara kologial, dalam artian seluruh direksi dan komisaris guna menghindari masalah yang lebih parah serta dengan itikat baik, maka ini tidak bisa dikatakan merugikan. “ Ini keputusan bisnis, atau istilahnya business judgment rule. Direksi dalam kebijaksanannya pun dapat melanggar anggaran dasar perusahaan, jika memang mendesak. Dimanapun PT dengan anggaran dasarnya, tidak ada sanksi pidana kalau itu dilanggar. Jika untuk penyelamatan atau kerugian lebih lanjut, peraturan boleh disimpangi, karena itu kebijakan perusahaan. Ini satu tindakan, tidak umum. Jika ada yg merasa dirugikan dapat digugut perdata, tapi bukan tindak pidana,” papar Erman.
Tidak hanya itu, menurut Erman Rajagukguk, Persrroan Terbatas (PT) juga tidak perlu diperiksa oleh BPKP. “ Meskipun pemegang sahamnya adalah negara atau pemerintah, namun karena ini badan hukum private yang mengelola bisnis maka tidak bisa dikatakan sama. Negara artinya sudah masuk dalam bisnis private. PT mempunyai harta tersendiri, maka tidak perlu diperiksa BPKP,” pangkas Erman.
Selain menghadirkan Prof Erman Rajagukguk, sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Pekanbaru ini juga menghadirkan saksi ahli, DR Eko Sembodo MM yang merupakan mantan Kepala Badan Pemeriksa Keuangan Propinsi Riau dan Kepri.
DR Eko Sembodo memberikan keterangan bahwa sesuai dengan undang-undang No.15 tahun 2006, hanya Badan Pemeriksa Keuangan yang bisa menyatakan kerugian negara dan bukan instansi lain. ” Hanya BPK yang bisa menyatakan kerugian negara. Sedangkan BPKP, sesuai PP No.60 2008, posisinya sebagai aparat pemerintah untuk mengasistensi kepada pemerintah daerah agar memahami pengelolaan negara. Instansi tersebut tidak menyatakan kerugian keuangan negara. Jika BPKP ada pemeriksaan, maka harus atas perintah atau izin presiden,” ungkap Eko Sembodo.
Lanjut Eko, seharusnya tidak dapat dikatakan kedit macet menimbulkan kerugian, tanpa memperhitungkan jaminannya. “ Maka harus dihitung hal-hal lain untuk mendukung kredit yang diberikan. Kalau ada jaminan dan bisa dilelang, maka itu tidak disebut total lost. Menghitung kerugian negara itu harus jelas perhitungannya,” tegas Eko Sembodo.(isa/rls)