JAKARTA (riaupeople) – Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Erman Rajagukguk menyebutkan Mahkamah Agung (MA) telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa tagihan Bank BUMN bukan tagihan Negara karena Bank tersebut tunduk pada UU no.1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (PT). Kekayaan PT sebagai badan hukum terpisah dari kekayaan negara sebagai pemegang saham. Penyertaan negara dalam BUMN Persero telah dipisahkan dari kekayaan negara. “ Menurut doktrin hukum dari sistem hukum Civil Law maupun Common Law, kekayaan bank BUMN Persero bukanlah kekayaan negara. Karakteristik utama badan hukum adalah pemisahan kekayaan badan hukum dari kekayaan pemilik dan pengurusnya. Perseroan Terbatas mendapat status badan hukum setelah akte pendiriannya mendapat pengesahan dari Menteri Hukum dan HAM. Dalam hal ini kekayaan negara sebagai pemegang saham adalah lembar-lembar saham itu sendiri,” sebut Erman Rajagukguk sebagaimana dikutip dari unisosdem.org.
Lebih lanjut disampaikannya, pada Pasal 11 UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN menyatakan bahwa BUMN Persero tunduk pada UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Karena itu, UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan bahwa KPK berhak memeriksa BUMN Persero, karena harta kekayaan BUMN Persero termasuk sebagai harta kekayaan negara merupakan sesuatu yang keliru. “ Oleh karena kekayaan BUMN Persero bukan kekayaan negara, maka Pasal 2 UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang menyatakan kekayaan negara/kekayaan daerah termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah turut keliru pula,” tulis Erman Rajagukguk.
Diperiksa BPK
Pasal 3 UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara yang menyebutkan BPK dapat memeriksa BUMN Persero, menurut Erman Rajagukguk tidak tepat pula. Pasal-pasal bersangkutan di atas dalam ketiga UU tersebut haruslah dicabut karena bertentangan dengan doktrin hukum tentang PT sebagai badan hukum di sistem hukum manapun juga.
Lebih lanjut disampaikannya, fatwa MA yang menyatakan bahwa tagihan bank BUMN Persero bukanlah tagihan negara tidak merupakan hal yang baru, karena doktrin badan hukum tersebut di atas. “ Lagi pula kalau tagihan bank BUMN Persero merupakan tagihan negara, apakah juga utang bank BUMN Persero adalah utang negara? Sama sekali tidak bukan?,” tegasnya.
Dalam UU PT, dijelaskan Erman Rajagukguk hukum telah memberikan negara dua kekecualian yang bisa dikatakan istimewa. Pertama, perseroan sebenarnya didirikan oleh dua orang atau lebih (Pasal 7). Kemudian dalam hal pemegang saham menjadi kurang dari dua orang, maka pemegang saham bertanggung jawab secara pribadi atas segala perikatan atau kerugian perseroan. Kedua ketentuan ini tidak berlaku bagi BUMN (Pasal 5), artinya negara sebagai pemegang saham satu-satunya (100%) bisa mendirikan PT dan tidak bertanggung jawab atas utang-utang PT. “ UU yang menyatakan kekayaan BUMN Persero adalah kekayaan negara, seperti ‘sudah dikasih hati meminta jantung’,” sebut Erman menyindir melalui perumpaan.
Kemudian pada pasal 60 ayat (1) UU No.1 Tahun 1995 tentang PT mengatakan bahwa RUPS Tahunan menyetujui laporan tahunan dan pengesahan perhitungan tahunan. Dengan demikian, jelas kerugian tidak dihitung dari satu transaksi, tetapi dari seluruh transaksi. “ Bisa saja satu transaksi rugi, tetapi transaksi yang lain menguntungkan. Sehingga RUPS memutuskan perusahaan mendapat untung. Andaikata perhitungan transaksi adalah tahun yang lalu itu rugi, kerugian itu dapat ditutup dengan dana cadangan atau laba tahun lalu yang belum dibagikan. Dengan demikian, kerugian bank BUMN Persero tidak otomatis menjadi kerugian negara sebagai pemegang saham. Negara sebagai pemegang saham yang merasa dirugikan oleh transaksi yang dilakukan direksi dapat menggunakan pasal 54 dan pasal 98 UU No. 1/1995 dan kejaksaan tetap dapat memeriksa dan menuntut direksi atau komisaris bank BUMN Persero yang menyimpang dari prosedur berdasarkan UU Perbankan, bukan UU Anti Korupsi yang menganggap kekayaan bank BUMN Persero sebagai badan hukum adalah kekayaan Negara,” jelas Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Erman Rajagukguk.(fai)
|