JAKARTA (riaupeople) - Pakar Hukum Perbankan, Frans Winarta mengatakan permasalahan kredit macet bukan suatu tindak pidana korupsi melainkan murni perkara perdata. Kategori kredit macet yakni apabila debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya kepada kreditur, seperti terlambat atau tidak sanggup membayar. ” Apakah dengan terlambat atau tidak sanggup membayar otomatis dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi,” tanya Frans Winarta saat diskusi panel Kredit Macet dan Fungsi Intermediasi Perbankan di Jakarta beberapa waktu lalu.
Menurutnya, terlambat atau ketidaksanggupan debitur melakukan kewajibannya itu merupakan suatu perbuatan wanprestasi yang diatur dalam pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Kategori perbuatan wanprestasi di antaranya adalah apabila debitur tidak melakukan apa yang telah disanggupi atau melakukan kewajibannya namun terlambat.
Guna mencegah kredit macet perbankan, Frans sebagaimana ditulis merdeka.com mengatakan dibutuhkan kemampuan dan integritas yang baik dari pejabat bank yang terlibat dalam pemberian kredit sejak dari analisis kredit sampai pada pemberian kredit. Selain itu, diperlukan pula sistem dan prosedur pemberian dan pengawasan kredit yang efektif oleh pihak bank serta pengawasan intensif dari Bank Indonesia sesuai pasal 31 UU No.10 Tahun 1998 tentang pembiayaan yang menyatakan Bank Indonesia melakukan pemeriksaan terhadap bank, baik secara berkala maupun setiap waktu bila diperlukan. ” Kemampuan dan integritas yang baik dari nasabah dalam menggunakan kredit dan mengelola usaha juga dapat membantu pencegahan kredit macet,” kata Frans yang juga tergabung dalam Komisi Hukum Nasional itu.
Pendapat senada diungkapkan Dwi A Prianto, SIK, MH melalui tulisannya di situs Alumni Akademi Kepolisian tahun 1999 yang menjelaskan bahwa benar kredit macet adalah sebuah kesalahan dan betul pula bahwa pelakunya harus mendapatkan hukuman.
Hanya saja, menurut Dwi A Prianto perlakuannya tidak selalu dapat dimasukkan dalam ranah hukum pidana dan korupsi. Untuk memutuskan apakah kredit macet masuk ranah hukum pidana dan korupsi atau tidak, semestinya perlu dilihat bagaimana prosesnya. “ Sepanjang keputusan kredit (yang akhirnya macet) diambil berdasarkan business judgement, diputus tanpa adanya conflict of interest, dan telah accountable, semestinya hal itu tidak dapat dinyatakan salah secara pidana,” tulisnya.
Namun sebaliknya disampaikan Dwi A Prianto, jika persoalan itu hanya dilihat berdasarkan hasil akhirnya (yaitu kredit macet), dan bukan pada prosesnya, tidak menutup kemungkinan kredit macet dianggap sebagai bentuk kejahatan perbankan dan tak jarang dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. “ Pelaksanaan penegakan hukum wajib mengikuti ketentuan aturan hukum. Penegakan hukum yang dilakukan tidak menurut hukum, dapat berakibat batal demi hukum. Keharusan penegakan hukum mengikuti ketentuan hukum dimaksudkan untuk mencegah aparat penegak hukum berlaku sewenang-wenang, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan mencederai rasa keadilan,” jelasnya.(fai)