Oleh: Faisal Sikumbang
IBARAT gula, anggaran bantuan sosial kerap jadi rebutan. Tidak hanya oleh pihak yang memang wajar mendapatkan, tapi juga oknum pemegang kekuasaan. Melalui kebijakan yang menyalah, anggaran dipelasah secara berjama’ah. Sudah bukan rahasia lagi, Bantuan Sosial (Bansos) kerap jadi ladang korupsi.
Dalam beberapa kasus yang diteliti Indonesian Coruption Watch (ICW), pemberian dana bantuan sosial kepada masyarakat kecil hanya kamuflase belaka. Kenyataannya dana lebih banyak dialirkan untuk kepentingan kroni serta pendukung kepala daerah saat suksesi. Makanya, seringkali anggaran pada pos dana bantuan sosial dibengkakkan dalam APBD.
Mulusnya kejahatan ini karena tidak butuh pertanggungjawaban secara rinci. Bermodal lembaran proposal, uang langsung bisa dicairkan. Siapa pihak yang meminta bantuan bukan persoalan. Termasuk proposal fiktif yang kegiatannya tidak pernah dilaksanakan. Kasus ini jugalah yang terjadi dimasa kepemimpinan Walikota Batam, Ahmad Dahlan. Celakanya, uang yang ditilap mengatasnamakan bantuan panti asuhan.
Menurut pemberitaan, dari Rp4,5 miliar dana bantuan panti asuhan yang dianggarkan, hanya Rp36 juta yang disalurkan. Kendati Asosiasi Panti Asuhan (Aspan) pernah beberapa kali mempertanyakan, namun tidak pernah ada jawaban. Kemudian juga ada bantuan fiktif kepada panti asuhan Yayasan Mama Syamsuri yang diketahui berdasarkan pemeriksaan Kejari. Rangkaian kejahatan di pos bantuan juga diwarnai penyunatan anggaran. Kalau sebelumnya hanya minyak atau gas yang dioplos, kini juga termasuk dana Bansos.
Kendati dua terdakwa korupsi sudah diberi sanksi, namun kasus ini masih menyisakan teka-teki. Raja Abdul Haris dan Erwinta yang dihukum 2,5 tahun penjara, dianggap sebatas gerbong dan bukan lokomotifnya. Banyak pihak berasumsi, kedua oknum pejabat itu tidak mungkin “main” sendiri. Layaknya dunia birokrasi, posisi bendahara maupun keuangan bekerja berdasarkan instruksi. Paling tidak, setiap pencairan selalu mengacu kepada disposisi pejabat yang lebih tinggi.
Sayangnya, perlakuan hukum kita kerap ibarat pisau. Tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas. Aroma ini juga tercium dalam pengusutan kasus bantuan sosial ini. Penegak hukum sepertinya kehilangan selera untuk mengusut siapa dalangnya. Padahal cukup banyak suara sumbang dan informasi yang berkembang. Kita tentu tidak ingin, supremasi hukum mati akibat sebuah konspirasi.
Niat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang beberapa waktu lalu ingin mengambil alih kasus ini, sempat menggembirakan hati. Paling tidak, keterlibatan KPK bisa mengungkap dalang koruptornya. Namun seiring berjalannya waktu, semuanya kembali semu. Malah, kini nyanyian korupsi Bansos tak pernah terdengar lagi.
Penyelewengan anggaran, apalagi untuk bantuan panti asuhan, tentu sangat memalukan. Tidak hanya mencoreng nilai-nilai ke-Melayu-an, tapi juga menyangkut pertanggungjawaban kepada Tuhan. Kita tidak ingin menuduh ada keterlibatan Walikota Batam, Ahmad Dahlan. Tapi yang jelas, memakan hak anak yatim adalah prilaku dzalim.(*)