Majelis Ulama Indonesia (MUI) merancang fatwa tentang perampasan aset milik pelaku tindak pidana kourpsi dan tindak pidana pencucian uang. MUI menyatakan, harta hasil tindak pidana korupsi harus disita oleh negara.
Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Niam Shaleh di sela-sela Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI ke IV di Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat, Minggu (1/7) mengungkapkan fatwa perampasan aset tindak pidana korupsi menyatakan harta hasil korupsi harus dirampas negara dan dimanfaatkan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat. Perampasan harta korupsi itu, lanjut dia, tidak memengaruhi hukuman yang akan dijatuhkan saat di pengadilan.
“Alim ulama khawatir apabila harta hasil korupsi tidak dirampas negara akan membebani orang tersebut saat nanti perhitungan amal di akhirat,” kata Asrorun Niam selaku Sekretaris Komisi B yang membahas rancangan fatwa perampasan aset milik pelaku tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang.
Menurut dosen Universitas Islam Negeri Jakarta itu, apabila harta itu berasal dari warisan maupun hibah dari keluarga, harta itu tidak dirampas negara melainkan menjadi milik orang tersebut. “Harus ada pembedaan antara harta hasil korupi dengan harta warisan atau harta yang didapat dari jalan sah. Untuk itu, perlu adanya pembuktian terbalik,” ucapnya.
Akan tetapi, lanjutnya, bila seseorang tidak mampu membuktikan kekayaannya berasal dari hasil yang sah, negara berhak merampas hartanya. “Harta yang dirampas untuk kepentingan masyarakat,” ujarnya.
Dia menjelaskan perlakuan terhadap aset pelaku tindak pidana korupsi dikategorikan menjadi tiga jenis. Pertama, aset pelaku tindak pidana korupsi yang terbukti berasal dari tindak pidana korupsi bukan milik pelaku. Karenanya, aset tersebut harus dirampas dan diambil oleh negara sedang pelakunya dihukum.
Kedua, aset pelaku tindak pidana korupsi yang terbukti bukan berasal dari tindak pidana korupsi tetap menjadi milik pelaku dan tidak boleh dirampas untuk negara. Ketiga, aset pelaku tindak pidana korupsi yang tidak terbukti berasal dari tindak pidana korupsi tetapi juga tidak bisa dibuktikan aset tersebut adalah miliknya, harus diambil oleh negara.
Aset koruptor yang disita negara, lanjut Asrorun, harus dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat. Dan tindakan penyitaan itu tidak menghilangkan hukuman terhadap pelaku.
Sedangkan pencucian uang, lanjut Asrorun, adalah bentuk pencurian. Sehingga, sambung dia, pelaku harus dihukum berdasarkan peradilan yang berlaku. Bagi penerima pencucian uang, lanjutnya, wajib mengembalikan ke negara. (PelitaOnline.COM)