JAKARTA (riaupeople) – Ketegasan pemerintah diperlukan jika tidak ingin konflik lahan di berbagai daerah memicu kerusuhan nasional dan menggoyang stabilitas negara. Di akhir tahun 2011 dan awal tahun ini, kerusuhan demi kerusuhan masih terus terjadi di Tanah Air.
Kasus konflik lahan di Mesuji, Bima dan Pulau Padang adalah di antara berbagai kasus yang masih membara di sejumlah daerah. Persoalan yang dilambungkan ke publik membuka akar persoalan sosial paling rawan di republik. Pertanyaannya, kenapa pemerintah selalu lelet dalam mengantisipasi konflik tersebut?
Anggota Komnas HAM Ridha Saleh mengingatkan bahwa konflik lahan antara rakyat dan korporasi yang dibeking pemerintah daerah dan aparat keamanan bisa membesar pada tahun ini jika tidak ada keseriusan dari pemerintah. ” Dari laporan pelanggaran HAM yang masuk ke Komnas HAM sekitar 6.000 an, 45% adalah konflik lahan,” jelasnya.
Ridha menerangkan hal ini bisa membesar jika tidak segera ditangani secara sistematis dan mengurai akar masalahnya. Apalagi, jika kemudian ada kelompok-kelompok tertentu yang meraup keuntungan politik dengan mengkapitalisasi kasus agraria menjadi besar. ” Sejumlah kasus yang kami tangani jika tidak hati-hati akan jadi besar karena memang ada deposit politik yang besar juga. Contohnya kasus di Ciamis dan Dipasena, Lampung,” paparnya.
Menurut Ridha sebagaimana dilansir beritasatu.com, saat ini dari berbagai advokasi Komnas HAM, di setiap konflik lahan selalu ada kekerasan begitu pasukan Brimob didatangkan ke lokasi. ” Karena itu, saat kami bertemu Kapolri, keberadaan Brimob perlu dievaluasi dan perlu mengedepankan peran Polres setempat. Upaya preventif harus dikedepankan,” jelasnya.
Menyikapi dugaan konflik lahan ditunggangi kekuatan politik, pengamat intelijen Wawan Purwanto mengaku tidak mau berspekulasi terlalu jauh. ” Bisa saja ada kelompok-kelompok yang memanfaatkan situasi dan para aktor intelektual menggunakan tangan orang lain untuk mendorong situasi semakin rusuh,” katanya.
Wawan mengaku sebenarnya pihak intelijen memiliki pemetaan soal titik-titik panas daerah konflik. Hal ini yang harus diperbaiki terus dan perlu ada ketegasan dari pemerintah. Ia juga mengingatkan perlu ada keteladanan dan contoh dari para pemimpin maupun tokoh lokal untuk tidak lagi mengedepankan egoisme kelompok saat menyikapi suatu masalah. ” Terkadang juga kita menyayangkan masalahnya semakin rumit karena banyak perizinan lahan maupun sumber daya alam diberikan calon kepala daerah menjelang pemilu kada,” beber dia.
Sementara Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Idham Arsyad menerangkan dari laporan akhir tahun Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) tahun 2011, mencatat terdapat 163 konflik agraria di seluruh Indonesia. Terjadi peningkatan drastis jika dibandingkan dengan tahun 2010 (106 konflik). ” Dikhawatirkan jika tidak direspons secara serius oleh pemerintah hal ini akan bergulir dan meledak di tahun ini,” jelas Idham.
Dari sisi korban, terdapat 22 petani/warga yang tewas di wilayah-wilayah sengketa dan konflik agraria. Konflik yang terjadi melibatkan lebih dari 69.975 kepala keluarga, sementara luasan areal konflik mencapai 472.048,44 hektare.
Dari 163 kasus yang terjadi, terdapat 97 kasus terjadi di sektor perkebunan (60%); 36 kasus di sektor kehutanan (22%); 21 kasus terkait infrastruktur (13%); 8 kasus di sektor tambang (4%); dan 1 kasus terjadi di wilayah tambak/pesisir (1%).
Sedangkan dilihat dari sebaran wilayah konflik, jumlah konflik atau sengketa agraria terbanyak terdapat di Provinsi Jawa Timur sebanyak 36 kasus, Sumatra Utara 25 kasus, Sulawesi Tenggara 15 kasus, Jawa Tengah 12 kasus, Jambi 11 kasus, Riau 10 kasus, Sumatra Selatan 9 kasus, dan sisanya tersebar di sebagian besar provinsi lain di Indonesia.
Pada sisi lain, data LSM HuMa dari 110 kasus sengketa agraria, setidaknya terdapat 2,7 juta hektare lahan yang menjadi obyek konflik yang melibatkan pemerintah dan perusahaan sebagai pelaku dominan. Seluruh kasus tersebut masih belum tuntas.(*)