INHU (riaupeople) – Kasus pemukulan yang dilakukan Bupati Inhu, Yopi Arianto terhadap karyawan PT Duta Palma mendapat perhatian publik. Yopi, peraih rekor Muri sebagai bupati termuda di Indonesia itu dianggap telah melakukan tindak kekerasan. Atas perbuatannya itu, Yopi Arianto bisa dijerat dengan Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan. Adapun ancaman hukuman pidananya paling lama 2 tahun 8 bulan atau bisa sampai 5 tahun apabila meenyebabkan luka berat.
Sebagaimana dikutip dari artikelhukum.blogspot.com, Undang-undang tidak memberikan ketentuan apakah yang diartikan dengan penganiayaan (mishandeling) itu. Namun menurut Yurisprudensi, yang diartikan dengan penganiayaan yaitu sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit atau luka.
Menyangkut perasaan tidak enak seperti mendorong seseorang ke kali hingga basah, menyuruh orang berdiri diterik matahari dan lain sebagainya. Sedangkan rasa sakit yakni menyubit seseorang, menempeleng, memukul dan lain-lain. Sementara penganiayaan hingga menyebabkan luka seperti mengiris, memotong, menusuk dengan pisau dan lainnya. Malah menurut alenia empat dari pasal ini, masuk pula dalam pengertian penganiayaan adalah sengaja merusak kesehatan orang.
Pada sisi lain, Boyke Amri, SH dari Kantor Pengacara Boyke Amri and Partners di Pekanbaru menyebutkan tindak penganiayaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dibagi menjadi 5. Masing-masingnya, Pasal 351 yakni penganiayaan biasa, pasal 352 penganiayaan ringan, pasal 353 penganiayaan berencana, pasal 354 dan 355 penganiayaan berat. ” Untuk kasus penamparan sebagaimana yang terjadi, termasuk tindak pidana penganiayaan ringan sebagaimana dijelaskan dalam pasal 351 ayat 1 KUHP yang berbunyi penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian, dipidana sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus. Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya atau menjadi bawahannya,” papar Boyke Amri, SH.
Sedangkan mengenai kemungkinan adanya upaya perdamaian, menurut Boyke Amri idealnya menurut peraturan perundang-undangan dan doktrin, itu tidak bisa menghentikan proses perkara karena Tindak Pidana Penganiayaan merupakan Delik Biasa. ” Hanya saja, pada praktiknya dapat dimungkinkan adanya penghentian perkara di Kepolisian karena Diskresi Polisi,” jelas Boyke Amri, SH
Dasar hukum Diskresi Polisi, sebagaimana dikatakan Boyke Amri yaitu Pasal 18 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI yang berbunyi untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesi dalam melaksanaan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. ” Selanjutnya dalam Pasal 18 ayat (2) UU Kepolisian diatur bahwa pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta kode etik profesi kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam hal ini bertindak dengan penilaian sendiri dapat disebut sebagai diskresi,” ujar Boyke Amri.(fai)