Ditulis: SUHADI Wartawan RiauPeople.com
FENOMENA pemindahan tugas (mutasi) pada jabatan tertentu di lingkungan pemerintahan baik provinsi maupun pemerintahan kabupaten/kota di Indonesia bukan sesuatu yang baru dalam dunia birokrasi, terutama mutasi jabatan baik jabatan eselon II, eselon III, maupun eselon IV. Proses pemutasian ini menjadi sesuatu yang dianggap bergengsi oleh para pejabat yang ditempatkan untuk menduduki posisi tertentu. Fenomena mutasi mulai ramai dan menjadi trend dalam pemerintahan terutama pasca reformasi dan diberlakukanya pemilihan kepala daerah secara langsung.
Kalau kita melihat ke belakang terutama pada masa orde baru, fenomena pemindahan tugas seorang pejabat tidak sebegitu hangat dan ramai dibicarakan. Kalaupun ada mutasi, itu merupakan sesuatu yang lumrah dan biasa karena dalam birokrasi pemerintahan seorang pegawai memiliki karir sesuai dengan jenjang yang ada. Fenomena ini muncul terutama di ilhami dari adanya peraturan yang mengatakan bahwa gubernur ataupun bupati dan walikota merupakan pejabat yang memiliki wewenang dalam bidang kepegawaian yang ada di daerah. Itupun berdasarkan tingkatan tertentu.
Karena memiliki wewenang sebagai pejabat pembina kepegawaian yang ada di daerah dan terlebih di dukung dengan jabatan politis yang dimiliki oleh kepala daerah (walikota) sehingga akan dengan mudah mereka melakukan pemutasian terhadap seseorang baik untuk menduduki jabatan maupun untuk dipindahkan atau dinonjobkan.
Pemilihan kepala daerah secara langsung banyak memberikan dampak negatif daripada positif terhadap kinerja birokrasi dan karir seseorang dalam jabatannya. Para kepala daerah baik gubernur maupun bupati/walikota seolah-olah memposisikan dirinya sama seperti presiden dimana mereka bisa dengan seenaknya memutasikan seorang pejabat.
Padahal dalam peraturan perundang-undangan yang ada baik dalam Undang-Undang Kepegawaian maupun dalam aturan turunanya bahwa keberadaan Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah bukanlah jabatan politik tetapi merupakan jabatan karir dan memiliki mekanismenya sendiri. Meskipun kepala daerah sebagai pembina kepegawaian tidak serta merta menggunakan kewenangan tersebut hanya untuk kepentingan politik semata. Kita bisa lihat fakta begitu kacaunya jenjang karir yang ada di dalam sistem birokrasi yang ada di daerah.
Fenomena ini hampir ada di seluruh Indonesia. Kita bisa lihat kejadian yang terjadi beberapa waktu lalu, pasca pemilukada yang berlangsung di lima Kecamatan. Bagaimana nuansa politis dalam setiap pemindahan pegawai khususnya dalam pengisian formasi jabatan baik untuk eselon II sampai dengan eselon IV. Kadang Kedudukan jabatan dan kepangkatan yang ada tidak berlaku bagi para kepala daerah. Sebagaimana yang saya sebutkan diatas bahwa pemindahan seseorang dalam posisi jabatannya lebih bernuansa politis.
Seorang pegawai yang secara kedudukan dan kepangkatan belum layak kemudian dipaksakan untuk menduduki jabatan. Dan bahkan sikap profesionalisme itu sendiri tidak ada. Meskipun di pemerintahan daerah ada Baperjakat terkadang badan ini tidak berfungsi secara maksimal. Pengangkatan seseorang untuk menduduki jabatan hanya di dasarkan kepada balas budi yang diberikan seseorang kepada kepala daerahnya dalam kampanyenya. Jadi tidak salah ketika banyak sekali Pegawai Negeri Sipil terutama yang memiliki jabatan mereka bermain politik praktis dalam rangka untuk mempertahankan kekuasaannya atau untuk dipilih ketika calon yang didukungnya menjadi kepala daerah.
Meskipun secara peraturan perundang-undangan bahwa Pegawai negeri Sipil dilarang untuk berpolitik tetapi kemudian mereka digiring untuk berpolitik praktis. Sehingga pada akhirnya karir yang ada sudah tidak berlaku lagi. Kemudian muncul blok-blok yang ada di dalam birokrasi itu sendiri. Bahkan dalam hal itu juga Ada Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat) memang, untuk menyodorkan sederet nama yang pantas menduduki kursi pejabat satuan kerja kepada kepala daerah. Namun, pergantian jabatan juga menyangkut urusan banyak hal: favoritisme terhadap pejabat tertentu oleh sang kepala daerah, sampai masalah gemerincing uang. Dalam hal ini, saya seperti melihat aktivitas pasar. Orang-orang bertransaksi, dan harga di dalam pasar yang tengah melaju mendadak lebih mahal daripada biasanya. Sebotol air mineral bisa dihargai dua kali lipat ketimbang yang dijual di supermarket.
Dalam sebuah ‘gerbong mutasi’, kita mendengar, ada pejabat yang berani mengeluarkan uang ratusan juta rupiah untuk membeli kursi di satuan kerja yang basah. Basah dalam ‘mitologi’ birokrasi adalah sebutan bagi posisi yang bisa menghasilkan uang (tentu saja dengan jalan tak halal dengan menggangsir uang negara). Sesuatu yang tak halal memang acap kali mahal. Seorang pejabat berkilah kepada saya: belum ada laporan mengenai itu. Pejabat harus profesional, penentuan jabatan ditentukan oleh prestasi dan seterusnya. Mendengar dia bicara, saya seperti mendengar sebuah kaset yang diputar ulang, sama seperti rumor ‘setoran ratusan juta rupiah’ yang senantiasa kembali setiap musim mutasi tiba.
Mendadak birokrasi menjadi pertemuan pedagang dan pembeli. Ada ‘tangan gaib’ seperti teori ekonomi Adam Smith: para pejabat ini digerakkan oleh kepentingan sendiri. Sayangnya, tidak seperti Smith yang meyakini individu yang bebas mengejar kepentingannya sendiri secara otomatis akan mempromosikan kepentingan publik, ‘tangan gaib’ birokrasi justru jaminan kerugian bagi publik. Posisi ‘basah’ adalah tempat yang tepat untuk balik modal.
Ini seperti membuktikan, bahwa Djilas amatlah benar: birokrasi menjadi kelas tersendiri. Solid. Bekerja untuk kepentingan kelas mereka sendiri. Lucunya (atau mungkin lebih tepat sialnya), di negeri ini, rakyat tak terlampau peduli siapa akan berebut apa di dalam gerbong itu, dan menganggap itu seperti hal yang kaprah: di mana-mana birokrasi seperti itu. Selama kereta api itu tiba dari stasiun ke stasiun hingga akhir pemberhentian. Terlambat sejam atau dua jam tak mengapa, asal bukannya tidak sama sekali. Jadi seperti ini pengamatan saya tentang fenomena tentang mutasi jabatan di seluruh wilayah Indonesia. ***
Facebook Comments
Berita Riau >> "Profile" lainnya.
- PEMBERITAHUAN
- Khairul Anwar: Biar Masyarakat yang Menilainya
- Walikota Dumai: Pengabdian Butuh Kesabaran
- Puswil Riau Miliki 435 Ribu Buku
- Hefrina Wati Nahkodahi HIPMI Dumai 2012-2015
- Tunggangi Motor, Bupati Yopi Serap Aspirasi
- Sehelai Sarung
- Membangun Dumai untuk Masyarakat
- Gunakan Hati Nurani Ketika Bertugas
- Tegas, Disiplin, Jujur dan Berani

Butuh Rental Mobil di Pekanbaru dan sekitarnya silahkan kontak GLORIA Rent Car. Kunjungi RentalMobilPekanbaru.com